Muqaddimah

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan Barangsiapa yang Allah sesatkan, tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya. Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam!” “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan dari-pada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” Amma ba’du: Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (as-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

Mengenai Saya

Bekasi, Bekasi / Jawa Barat, Indonesia
Mendakwahkan Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah sesuai pemahaman Salafush Shalih

hit counter

Islamic Web Clock

Islamic Hijri Calendar


ShoutMix chat widget

Selasa, 15 Desember 2009

DO'A KETIKA MENDAPAT PUJIAN DARI ORANG LAIN

اَللَّهُمَّ لاَ تُؤَاخِذْنِيْ بِمَا يَقُوْلُوْنَ، وَاغْفِرْلِيْ مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ [وَاجْعَلْنِيْ خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ

Ya Allah, semoga Engkau tidak menghukumku karena apa yang mereka katakan. Ampunilah aku atas apa yang tidak mereka ketahui. [Dan jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka perkirakan]

HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 761
Continue reading...

Sabtu, 12 Desember 2009

doa ketika berbuka puasa

Ketika berbuka puasa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam menuntunkan kita untuk berdoa dengan lafadz:


ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ


( Dzahabazh zhaama'u wabtallatil ’uruqu wa tsabatal ajru insya Allah )

Artinya: “Semoga hilang rasa dahaga, dan basah kembali urat-urat dan Insya Allah mendapat pahala (disisi-Nya).” (HR Abu Daud No 2357 dengan sanad Hasan)


Inilah lafadz yang shahih dari Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasalam tentang doa ketika berbuka puasa. Adapun lafadz doa buka puasa yang bunyinya:


اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ


“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rizki-Mu aku berbuka. “


Lafadz doa ini terdapat dalam sunan Abu Daud No 2358. Namun sanadnya lemah, karena disamping hadits ini mursal juga didalamnya terdapat perawi yang majhul (tidak dikenal) yaitu perawi yang bernama Muadz bin Zahrah. (Lihat Irwa’ul Ghalil, Syeikh Albani, 4/38 dan Dhaif Sunan Abi Daud No 510)


Demikian pula lafadz doa berbuka puasa yang bunyinya:


اللَّهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْناَ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ


“Ya Allah, untuk-Mu kami berpuasa dan dengan rizki-Mu kami berbuka. Ya Allah, terimalah (amal-amal) kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”


Lafadz doa ini terdapat dalam sunan Daru Quthni 240, Ibnu Sunni dalam kitab Amalul Yaumi Wal Lailah no 474 dan Thabrani. Namun sanad hadits ini dhaif jiddan (lemah sekali) karena di dalamnya terdapat perawi yang bernama Abdul Malik bin Harun. Oleh As-Sa’di ia dijuluki dajjal (pendusta) dan haditsnya tidak dipakai. (Lihat Irwa’ul Ghalil, Syeikh Albani, 4/36)


Oleh karenanya, doa berbuka puasa yang dituntunkan untuk kita baca adalah doa yang pertama yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud. Sedangkan riwayat kedua dan ketiga karena haditsnya lemah maka tidak perlu kita amalkan.


Dan doa berbuka puasa ini sifatnya umum, dapat dibaca ketika melakukan berbuka puasa yang wajib seperti puasa Ramadhan dan puasa nadzar ataupun ketika berbuka dari puasa sunnah seperti puasa senin kamis, puasa Daud dan lain-lain, mengingat keumuman hadits tersebut dan tidak adanya dalil yang mengecualikan dalam hal ini, juga karena tidak adanya riwayat yang menjelaskan adanya doa berbuka puasa yang khusus untuk puasa sunnah.

Wallahu'alam.
Continue reading...

Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi’iy

Oleh:
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat


Firman Allah Jalla wa ‘Alaa.
“Artinya : Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya manusia tidak akan memperoleh (kebaikan) kecuali apa yang telah ia usahakan” [An-Najm : 38-39]

Berkata Al-Hafidz Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat di atas.
“Yaitu, sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain demikian juga seorang tidak akan memperoleh ganjaran (pahala) kecuali apa-apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini Al-Imam Asy-Syafi’iy bersama para ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan hukum : Bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati. Karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka.

Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkan umatnya (untuk menghadiahkan bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati) dan tidak juga pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka baik dengan nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga dengan isyarat (sampai-sampai dalil isyarat pun tidak ada). Dan tidak pernah dinukil dari seorangpun shahabat (bahwa mereka pernah mengirim bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati). Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentu para shahabat telah mendahului kita mengamalkannya [1]. Dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas pada dalil tidak boleh dipalingkan dengan bermacam qiyas dan ra’yu (pikiran)” [2]

Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Tidak menjadi kebiasaan salaf, apabila mereka shalat sunnat atau puasa sunnat atau haji sunnat atau mereka membaca Qur’an lalu mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati dari kaum muslimin. Maka tidaklah boleh berpaling (menyalahi) perjalanan salaf. Karena sesungguhnya kaum salaf itu lebih utama dan lebih sempurna” [Dari Kitab Al-Ikhtiyaaraat Ilmiyyah]

Keterangan di atas menunjukkan kepada kita bahwa bacaan Al-Qur’an bukan untuk orang yang telah mati akan tetapi untuk orang yang hidup. Membaca Qur’an untuk orang yang telah mati hatta untuk orang tua dan menghadiahkan pahala bacaan tersebut kepada mereka, adalah perbuatan yang sama sekali tidak berdalil bahkan menyalahi Al-Qur’an sendiri dan Sunnah dan perbuatan para shahabat.

Sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Katsir yang mengambil dari Al-Imam Asy-Syafi’iy yang dengan tegas mengatakan bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai kepada orang yang telah mati. Demikian juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa perbuatan tersebut tidak pernah diamalkan oleh kaum salaf. Dari sini kita mengetahui, bahwa membaca Qur’an untuk orang yang telah mati tidak pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau ada, tentulah para shahabat yang pertama mengamalkannya sebelum orang lain. Kemudian amalan itu akan dinukil oleh tabi’in dan tabi’ut tabi’in termasuk Syafi’iy di dalamnya yang beritanya akan mencapai derajat mutawatir atau sekurang-kurangnya masyhur. Kenyataan yang ada sebaliknya, mereka sama sekali tidak pernah mengamalkannya sedikitpun.

Adapaun yang menyalahi Al-Kitab ialah.
[1]. Bahwa Al-Qur’an bacaan untuk orang yang hidup bukan untuk orang yang mati.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Agar supaya Al-Qur’an itu menjadi peringatan bagi orang-orang yang hidup” [Yasin : 70]

[2]. Al-Qur’an itu hidayah/petunjuk bagi manusia

[3]. Al-Qur’an juga memberikan penjelasan dari petunjuk tersebut yang merupakan dalil dan hujjah.

[4]. Al-Qur’an juga sebagai Al-Furqan pembela antara yang hak dengan yang batil
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Bulan ramadlan yang diturunkan di dalamnya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan baiyinaat (penjelasan-penjelasan yang merupakan dalil-dalil dan hujjah yang terang) dari petunjuk tersebut dan sebagai Al-Furqan” [Al-Baqarah : 185]

[5]. Di dalam Al-Qur’an penuh dengan larangan dan perintah. Dan lain-lain masih banyak lagi yang semuanya itu menjelaskan kepada kita bahwa Al-Qur’an adalah untuk orang yang hidup bukan untuk orang yang mati. Mungkinkah orang-orang yang telah mati itu dapat mengambil hidayah Al-Qur’an, mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya dan lain-lain?.

Adapun sunnah terlalu banyak haditsnya yang tidak memungkinkan bagi saya menurunkan satu persatu kecuali satu hadits di bawah ini.

“Artinya : Dari Abu Hurairah : “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kamu jadikan rumah-rumah kamu itu sebagai kuburan. Sesungguhnya setan itu lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah” [Hadits Shahih riwayat Muslim 2/188]

Hadits ini memberikan pelajaran yang tinggi kepada kita di antaranya.

[1]. Rumah yang tidak dikerjakan ibadah di dalamnya seperti shalat sunat dan tilawah (membaca) Al-Qur’an, Nabi samakan dengan kuburan.

[2]. Mafhumnya (yang dapat dipahami) bahwa kuburan bukan tempat membaca Al-Qur’an apalagi menamatkannya...?

[3]. Sekali lagi kita memahami dari sunnah nabawiah bahwa Qur’an bukanlah bacaan untuk orang-orang yang telah mati. Kalau Qur’an itu boleh dibacakan untuk orang-orang yang telah mati tentulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyamakan rumah yang di dalamnya tidak dibacakan Qur’an dengan kuburan! Dan tentulah Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bersabda : “Jadikanlah rumah-rumah kamu seperti kuburan!!!”.

Sungguh benar apa yang telah dikatakan Ibnu Katsir : “Tidak dinukil dari seorangpun shahabat bahwa mereka pernah mengirim bacaan Qur’an kepada orang-orang yang telah mati. Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentulah para shahabat telah mendahului kita mengamalkannya (Laukana khairan lasabakuna ilaihi)”.

Saya berkata : “Inilah rahasia yang besar dan hikmah yang dalam bahwa tidak ada seorangpun shahabat yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masalah membacakan Qur’an kepada orang-orang yang telah mati dan menghadiahkan pahala bacaannya hatta untuk orang tua mereka sendiri. Di mana mereka bertanya tentang sedekah, puasa nadzar dan haji untuk orang tua mereka yang telah wafat. Kenapa mereka tidak bertanya tentang Qur’an atau shalat atau dzikir atau mengirim Al-Fatihah untuk orang tua mereka yang telah wafat?

Jawabnya, kita perlu mengetahui kaidah besar tentang para shahabat. Bahwa para shahabat adalah aslam (yang paling taslim atau menyerah kepada keputusan Allah dan Rasul-Nya) dan a’lam (yang paling mengetahui tentang agama Islam) dan ahkam (yang paling mengetahui tentang hukum dan paling tepat hukumnya). Oleh karena itu mereka sangat mengetahui bahwa bacaan Qur’an bukan untuk orang-orang yang telah mati akan tetapi bacaan untuk orang yang hidup.

KESIMPULAN
[1]. Bahwa Al-Qur’an untuk orang yang hidup bukan untuk orang yang telah mati.

[2]. Membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah mati dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit bertentangan dengan Al-Qur’an sendiri dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama ijma’ para shahabat. Dengan demikian perbuatan tersebut tidak ragu lagi adalah BID’AH MUNKAR. Karena amalan tersebut tidak pernah terjadi pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun pada zaman shahabat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkannya hatta dengan isyarat. Dan para shahabat tidak pernah mengamalkannya sedikit pun juga..

[3]. Menurut Imam Syafi’iy bacaan Qur’an tidak akan sampai kepada orang-orang yang telah mati.

[4]. Membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah mati menghilangkan sebagian dari maksud diturunkannya Al-Qur’an.

[5]. Kuburan bukan tempat membaca Al-Qur’an apalagi menamatkannya.

[Disalin dari buku Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi’iy, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat (Abu Unaisah), Penerbit Tasjilat Al-Ikhlas, Cetakan Pertama 1422/2001M]
__________
Foote Note
[1]. Peganglah kuat-kuat kaidah yang besar ini! Bahwa setiap amal kalau itu baik dan masuk ke dalam ajaran Islam tentulah diamalakan lebih dahulu oleh para shahabat. Mafhumnya, kalau ada sesuatu amal yang diamalkan oleh sebagian kaum muslimin akan tetapi para shahabat tidak pernah mengamalkannya, maka amal tersebut jelas tidak baik dan bukan dari Islam.
[2]. Di dalam kaidah ushul yang telah disepakati “apabila nash (dalil) telah datang batallah segala ra’yu/pikiran

Semoga bermanfaat...!!!
Continue reading...

penampilan seperti kami bukanlah teroris

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
[Pengasuh Radio Muslim, Jogjakarta]

Setelah peristiwa pengeboman Mega Kuningan 17 Juli 2009, polisi mulai melancarkan operasi penangkapan terhadap orang-orang yang diduga teroris. Seperti kemarin baru saja kita saksikan penyergapan di Jatiasih dan Temanggung yang dilakukan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri. Dalam penyergapan tersebut diduga bahwa kepolisian telah berhasil menewaskan pelaku teroris nomor satu di negeri ini yaitu Noordin M Top, yang berkewanegaraan Malaysia. Di samping itu, kita lihat di beberapa tempat polisi juga melakukan raziah dengan tujuan untuk mencari orang-orang yang diduga teroris.

Namun bukanlah peristiwa ini yang kami sayangkan. Yang kami risaukan adalah tanggapan masyarakat saat ini mengenai orang-orang yang berpenampilan sama dengan pelaku-pelaku pengeboman. Sejak masa Amrozi dan Ali Imron dulu, sebagian orang memiliki anggapan bahwa orang-orang yang berjenggot dan memakai celana di atas mata kaki adalah orang-orang yang sekelompok dengan Noordin cs. Atau istri-istri mereka yang mengenakan cadar dituduh sebagai istri para teroris.
Oleh karena itu, dalam tulisan yang singkat ini, kami ingin sekali memberikan penjelasan kepada kaum muslimin bahwa tidak setiap orang yang berpenampilan sama itu memiliki kesamaan dalam tingkah laku. Jadi, belum tentu orang yang berpenampilan dengan celana di atas mata kaki atau berjenggot adalah teroris atau temannya teroris atau sekomplotan dengan teroris. Tidak otomatis dari penampilan semata seseorang bisa dituduh teroris.
Semoga setiap muslim yang membaca artikel ini mendapatkan pencerahan dan mendapatkan taufik dari Allah Ta’ala.

Baca selengkapnya...klik..

http://moslemsunnah.wordpress.com/2009/08/09/penampilan-seperti-ini-bukanlah-teroris/
Continue reading...

fatwa ulama tentang imsak...??

Penjelasan Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Bin Shalih Al Bassam (Anggota Majelis Kibarul Ulama Arab Saudi)

Hadits Nomor 177, Tentang Imsak

Dari Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit radliyallahu ‘anhu, dia (Zaid) berkata: “Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kemudian beliau bangkit untuk shalat (shubuh).” Anas berkata: Aku bertanya kepada Zaid: “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?” Ia menjawab: “Kurang lebih sekitar (bacaan) lima puluh ayat.” (HR. Bukhari 1801 dan Muslim 1097)

Penjelasan Hadits

Hadits ini menjelaskan bahwa Anas bin Malik meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwa ia (Zaid) pernah makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan termasuk kebiasaan (sunnah) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah beliau makan sahur menjelang shubuh.

Oleh karena itulah setelah selesai makan sahur (tidak lama kemudian) beliau bangkit untuk shalat shubuh. Kemudian Anas bertanya kepada Zaid: “Berapa lama jarak antara iqamat dan sahur?” Ia (Zaid) menjawab: “Sekitar (bacaan) lima puluh ayat.”

Kandungan Hadits

1. Keutamaan mengakhirkan sahur hingga menjelang shubuh.
2. Bersegera melaksanakan shalat shubuh itu dekat waktunya dengan waktu imsak.
3. Waktu imsak adalah terbit fajar (masuk waktu shubuh, pent.).

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” (QS. Al Baqarah : 187)

Dengan penjelasan ini kita dapat mengetahui bahwa apa yang dilakukan kaum Muslimin dengan membuat dua waktu: Imsak dan terbit fajar (shubuh) adalah bid’ah yang tidak ada dalilnya. Yang sunnah adalah pada permulaan terbit fajar (shubuh).

(Taisir Syarh Umdatul Ahkam halaman 414-415)

==========================
==

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Tentang Imsak

Tanya :
Kami melihat di sebagian kalender pada bulan Ramadlan terdapat bagian yang dinamakan imsak, yaitu terjadi kira-kira 10 menit/seperempat jam sebelum masuk waktu shalat fajar (shubuh). Apakah perkara ini ada dasarnya dari sunnah ataukah termasuk bid’ah? Berilah kami fatwa, semoga Anda senantiasa mendapat pahala.

Jawab :
Yang benar (dan tidak ragu lagi) bahwa imsak seperti ini termasuk BID’AH yang tidak ada dasarnya bahkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menyelisihinya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

“Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” (QS. Al Baqarah : 187)

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Sesungguhnya Bilal
mengumandangkan adzan di waktu malam maka makan dan minumlah kamu hingga mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum karena ia (Ibnu Ummi Maktum) tidak mengumandangkan adzan sampai terbit fajar.” (HR. Bukhari 1799 dan Muslim 1092)

Imsak yang dibuat oleh sebagian orang merupakan tambahan atas apa yang diajarkan Allah ‘Azza wa Jalla. Maka hal itu termasuk perkara yang batil dan termasuk tanaththu’ (berlebih-lebihan) dalam beragama.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Telah binasa orang dahulu yang berlebih-lebihan, telah binasa orang dahulu yang berlebih-lebihan, telah binasa orang dahulu yang berlebih-lebihan.” (HR. Muslim, Kitabul Ilmi 2670)

(Dinukil dari Kitab Alfadz wa Mafahimu fi Mizanisy Syari’ah karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin)

Semoga bermanfaat.
Continue reading...

Friends

Followers

Fave This

Blog Dakwah Ahlus Sunnah wal Jama'ah Copyright © 2009 Not Magazine 4 Column is Designed by Ipietoon Sponsored by Dezigntuts